Lima menit yang lalu, seorang kakek mengucapkan dua buah kata kepada saya ketika saya turun dari bus kota di depan bundaran filsafat
“Selamat belajar.” Katanya sambil menyunggingkan senyum kemenangan
Entah kenapa senyum itu membuat saya merasa kecil dan bodoh. Bodoh sebodoh-bodohnya.
Setengah jam sebelumnya, kakek itu menaiki bus kota yang saya tumpangi di pertigaan gondokusuman. Begitu naik, dia menengok ke buku yang saya sedang baca dan kaget, “Buku apa itu tebal sekali?” tanyanya sambil mengulurkan tangan meminta buku itu. Mau nggak mau akhirnya saya berikan. “Apa artinya ini?” Ia menunjuk dua kata di buku itu “key terms ...”
“kata-kata kunci pak, semacam hal-hal yang akan dipelajari ...” Kakek itu membolak-balik buku itu depan-belakang. Saya merasa diuji. Saya merasa kakek ini punya maksud terselebung yang tidak bisa saya baca saat itu. “Kalau yang ini... ” ia menunjuk ke dua kata lain di buku chapter enam belas. “ ... substantive test...” Masa iya mau saya jawab sebenarnya? Itu salah satu cara penilaian audit. Walau akhirnya saya jelaskan juga yang sebenarnya. Sejujurnya saya agak lupa arti substantif dalam bahasa indonesia. “Isi ... atau penjelasan ...” Oke saya memang minim kosakata bahasa indonesia. Kakek itu geleng-geleng kepala sambil berpikir seperti jawaban saya kurang memuaskan. “substantif itu seperti apa?” tanyanya. “Seperti undang-undang mungkin? Sering ada kosakata substantifnya apa? Isi?” “Kalau saya pergi ke kampus naik mobil, substantifnya apa?” katanya. Dan saya tidak bisa menjawab. Yah benar ... substantif artinya ... “Penting ... apa hal penting dari saya belajar ke kampus naik mobil?” Skak mat.
Setengah jam sisanya, diisi oleh kakek itu yang terus menerus mencerca Amerika, Eropa dan mengapa Indonesia tidak bisa melahirkan cendekiawan-cendekiawan yang bisa diakui dunia. Ia mencaci maki apa yang saya pelajari. “kamu fakultas apa?” “Ekonomi pak” “ekonomi adalah yang paling berbahaya,” katanya. Apa yang saya pelajari semuanya dicaci maki. Selama perjalanan jujur saya lebih banyak diam, merenung. Mengapa Allah mengirim banyak sekali orang sejenis kakek ini ke hadapan saya? Ini bukan yang pertama kali. “Adam smith tau kan?” saya hanya mengangguk-anggukkan kepala. “Lha dia itu mbahnya,” kata kakek itu.
Selama dia mencaci maki ekonomi, adam smith, keynes dan kawan-kawannya saya hanya diam. Tapi lalu dia menyinggung tentang perbankan islam, “Bank syariah itu juga tidak ada,” katanya. “Bank syariah itu cuma nama, tak ada itu bank syariah.” Sempat saya berpikir, apakah kakek ini malaikat? Yah... memang betul waktu itu saya pake jaket SEF, tapi kan tulisan shariah economics-nya di belakang bukan di depan, masa iya kakek ini tau aku anak SEF? Kok waktu itu saya merasa sedang diuji ya. “Bank syariah memang belum sempurna... banyak yang perlu diperbaiki. Tapi mereka sedang berjuang,” kataku. “Tidak ada itu... tidak ada bank syariah,...” tuturnya. “Tapi banyak yang sedang berjuang Pak... banyak yang memperjuangkannya,” jawab saya. “Yah... memang banyak yang berjuang... tapi apa itu... nggak ada bank syariah,” katanya lagi. Sumpah kakek itu ngotot banget, seharusnya saya diam saja. “Aturannya sudah ada, setidaknya bank syariah itu ada. Walau belum sempurna, setidaknya uang nasabah nggak diputer ke perusahaan haram. Jadi tenang ... sesederhana itu sekarang,” kata saya. “Aturannya nggak ada,” katanya. “Ada Pak, aturannya jelas,” kata saya. Sumpah rasanya pengen bilang ke kakek itu sana cek google. Astaghfirullah. Sebelum kepala saya meledak, ternyata bus sudah tiba di bundaran filsafat. Saat itu rasanya nggak ingin mengucapkan ucapan selamat tinggal ke kakeknya, buru-buru didahului kakeknya berkata, “selamat belajar ...” katanya sambil tersenyum. Di depan bundaran filsafat saya tertegun... rasanya mau menangis dan marah sekaligus.
0 komentar:
Posting Komentar