Dalam banyak situasi, saya sering khilaf dan lupa diri. Kadang merasa hidup itu untuk selamanya. Saya merencanakan banyak hal dan merasa sanggup untuk menyelesaikannya hingga akhir sesuai harapan. Saya terkadang lupa, ada yang jauh lebih berkuasa. Ada Allah SWT hakim yang memutuskan ini bisa atau tidak, jadi atau tidak tanpa bisa saya tebak jawabannya. Seperti hujan yang turun siang ini, siapa yang menebak ia akan datang? Jogja yang panas melebihi keadaan normal, tiba-tiba turun hujan. Seperti biasa, jumat siang saya ngelesin sarah tapi tiba-tiba hujan saya jadi urung diri. Saya sms Ibundanya dan ternyata Sarah sedang sakit, les pun libur. Saya nggak kebayang malah jadi kayak gitu. Rencana Allah SWT tak bisa dibaca oleh manusia.
Seminggu yang lalu- bukan, hari Rabu minggu lalu, saya dapat kabar dari Ayah kalau Eyang Busyron kritis. Kaget waktu baca smsnya di kelas. Di tengah kelas itu pula, Om Amir tiba-tiba nelpon- saya terpaksa keluar menerima telepon. Butuh darah. Segera. Panik. Nihil. Di kampus tidak ditemukan golongan darah yang kami cari, alhasil dapet dari PMI tapi darah beku, which is kurang segar alhasil HB cuma naik sekitar 0,3-0,5. Hari Jumat saya baru tau kalau saat itu ternyata nafas eyang sempat berhenti. Ketika keadaan membaik dan eyang meminta pulang saat itu Dia memanggil eyang. Itu terjadi kamis minggu lalu.
Beliau adalah sosok yang sangat saya hormati. Sosok yang teramat saya hormati dan sayangi setelah Ayah, dan Eyang Kung. Setiap tahun, beliau selalu ngasih petuah hidup. Saya selalu merasa diuji di hadapannya. Dulu waktu masih sekolah di Teladan, Eyang nyeritain anaknya yang kuliah kedokteran di Todai. Saya tahu maksudnya, dipengen-pengeni biar cita-citanya tinggi. Saya akhirnya kuliah di UGM. Pas kuliah di ekonomi, eyang selalu nyeritain yayasannya. Susahnya bangun yayasan dan nyari guru yang baik. Lagi, tujuannya biar saya nggak dzalim sama diri saya sendiri. Kuliah di ekonomi kadang-kadang bikin hati saya jadi beku, jadi apatis. Saya kadang takut kebablasan, ini aja udah kayak gini rasanya nggak enak. Saya selalu diingatkan Eyang untuk mau melihat ke bawah. Toh juga kami bukan dari orang kelas atas, dan hasil dari apa yang sudah didapatkan saat ini harus ditarik pelajaran hidupnya. Eyang itu orang sukses. Sukses mendidik anaknya pake ilmu dunia dan akhirat. Meski sudah sugih tapi down to earth. Nggak pernah mau nyombong. Sekalipun saya nggak pernah liat eyang sombong atau melebih-lebihkan dirinya dan usahanya. Sekalipun tak pernah. Beliau tidak berucap, tapi perilakunya selalu memberikan banyak pelajaran.
Karena saya di keluarga besar termasuk anak bandel- nggak mau dengerin kalo dinasehatin, mereka langsung tahu dimana mau "menyekolahkan" saya kalo dirasa butuh dan tempat itu adalah rumah Eyang. Tapi sekarang eyang udah nggak ada.
Banyak orang yang bilang orang baik cepet banget dipanggilNya. Mungkin iya, mungkin enggak. Mungkin karena mereka orang baik. Mungkin karena mereka dikenang terus jadinya orang-orang mencari-cari. Eyang Kung dipanggilNya ketika saya masih SD-lupa kelas berapa. Dulu saya selalu naik vespa, berdiri di depannya. Sebagai cucu pertama, saya dilimpahi kasih sayang yang besar saat itu. Dan saya rindu momen-momen itu.
Usia itu problematika yang aneh dan rumit. Setiap bertambah usia, orang beramai-ramai memberikan ucapan selamat. Setelah saya pikir-pikir, bukan kado yang penting bukan pula party tapi doa. Muhasabah diri setelah apa yang dilalui sepanjang hidup. Berapa banyak dosa yang sudah dibuat. Berapa banyak kita dzalim sama orang lain. Astaghfirullah.
0 komentar:
Posting Komentar