Pages

Mencermati Pertumbuhan Taman Bacaan Masyarakat (TBM)

TBM bukan menjadi sesuatu yang baru lagi. NGO ini sudah berkembang sejak tahun 1990 dan semakin pesat pertumbuhannya hingga tahun 2013. Pertumbuhan TBM yang signifikan memberi sebuah pencerahan bagi dunia pendidikan. Melalui institusi informal, anak-anak mampu belajar dan diberi akses seluas-luasnya tanpa dipungut biaya apapun. Di sisi lain, pertumbuhan TBM ini tidak dibarengi dengan peningkatan kualitas TBM itu sendiri, baik di SDM maupun teknis. 


Kebetulan, di keluarga saya ada dua orang yang membangun TBM. Om saya dulu adalah kepala perpustakaan di sebuah kota. Karena beliau sangat menyukai bidang kepenulisan dan sastra, beliau mengajukan proposal kepada pemerintah daerah setempat untuk membangun sebuah TBM. TBM tersebut dikelola sepenuhnya oleh keluarga. Proposal itu diterima dan TBM pada akhirnya jadi di bangun di tanah pribadi keluarga. TBM berkembang dengan sangat baik, namun tiba di satu titik yaitu TBM tidak mampu dikembangkan lagi karena SDM yang sangat minim. Untuk menarik lebih banyak anak, TBM menciptakan program PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini) setiap sabtu sore yang diajar oleh warga setempat dan dibantu mahasiswa KKN dan PKL. Permasalahan klasik yang belum terselesaikan adalah inventarisasi buku dan mainan yang masih tidak teratur dan mengatur serta membersihkan TBM itu sendiri. Karena ini berbasis NGO, setiap orang tidak terikat tanggung jawab 100% untuk membangun TBM. Apalagi sebagian besar pengurus masih anak-anak sekolah, alhasil TBM ini tidak berjalan begitu lancar. Idealnya, TBM ini diurus oleh remaja kampung setempat yang sudah tidak terikat institusi pendidikan, tapi lagi-lagi ada fee yang harus dibayarkan dan entah kenapa membuat istilah NGO itu sendiri menjadi mati. TBM yang dikelola om saya ini berjalan cukup baik, dengan antusiasme anak-anak yang setiap harinya tidak kurang dari 5-10 anak yang datang untuk meminjam buku atau sekedar bermain. Saya pun beberapa kali turun tangan untuk menginventaris buku dan menata ulang, atau sekedar membelikan buku-buku untuk mereka. 

Untuk TBM yang satunya, saya tidak terlalu mencermati perkembangan dan saya juga belum pernah kesana. Tetapi beberapa saudara saya, yang juga concern di TBM, memaparkan pendapatnya. Berbeda dengan TBM yang satu lagi. Terkadang apa tujuan kita tidak sesuai dengan realisasinya. Begitulah yang terjadi. Kalau yang tadi pure pendanaan dari pemda dan ngemis-ngemis ke donatur dan perpus pusat di Jakarta, yang satu ini juga ngemis ke Jakarta tapi tidak di bawah pemda. Karena tidak matangnya perencanaan dan ketidaksiapan mereka dalam membangun TBM, akhirnya beberapa fasilitas disalahgunakan untuk kepentingan lain. Tetapi satu hal positif adalah ibu-ibu di daerah TBM itu berbondong-bondong untuk mendanai tbm dengan menjual hasil pangan/ snack buatan mereka. Hal ini perlu dicermati, semakin banyak TBM tidak selalu menandai adanya perkembangan akses terhadap pendidikan, tetapi bisa jadi bumerang. Ada peluang untuk melakukan korupsi dan penyalahgunaan dana yang diperoleh. 

TBM itu baik. Namun, tidak akan bisa meraih tujuannya apabila tidak ada perencanaan yang matang. Membangun TBM bukan hanya masalah bagaimana mendapatkan sumber pendanaan, tetapi bagaimana membangun TBM itu agar diminati anak-anak dan meningkatkan motivasi membaca anak-anak. 

1 komentar:

lorpeken bedingin mengatakan...

siiiip...........!!!!!!!!!!!!!

Posting Komentar

 

Copyright © Thipposite. Template created by Volverene from Templates Block
WP by Simply WP | Solitaire Online