Pages

Hidup Kedua


Kuburnya bersih, bunga teratur terangkai di atasnya. Mungkin sejam yang lalu suaminya berkunjung. Kakak, apa kabar? Kataku dalam hati. Aku hanya bisa meratapi kepergiannya, kepergian yang begitu tiba-tiba. Setahun yang lalu, kami masih bersama.

-Flashback-

Dia adalah orang yang aku benci sekaligus orang yang paling aku cintai di dunia ini. Kakakku itu seorang akhwat sejati. Aku tidak mengerti dengan semua jalan pikirnya. Ia mengobarkan masa mudanya untuk sesuatu yang disebutnya dakwah. Memang apa istimewanya? Setiap aku bertanya jawabannya selalu sama, “karena aku mencintai Allah” Aissh, apa maksudnya? Semakin aku bertanya semakin aku bingung dibuatnya. “Hanya naluri kemanusiaanmu yang akan menyadarkanmu” katanya. Naluri kemanusiaan? Aku semakin tidak mengerti. Dia tak pernah memaksaku. Aku memang belum berjilbab, aku tidak tau apa itu hijab dan aku masih belum mau mengenal apa itu islam lebih dalam. Ia tidak memaksaku, justru itu hal yang paling aku benci darinya. Ia berdakwah dari satu tempat ke tempat lain, tetapi ia tidak pernah sekalipun melakukannya padaku. Aku membencinya.

***

Ia hamil. Keluarga kami senangnya bukan main. Sudah hampir 2 tahun ia menikah, sampai akhirnya ia bisa mendapatkan kehamilan. Ia sangat sabar, aku tau itu. Ia benar-benar sempurna, kalau saja sikap cerobohnya itu tidak ada. Betapa beruntungnya kakak iparku itu. Kelahiran keponakanku itu dijadwalkan bulan depan, artinya bertepatan dengan bulan ramadhan.

***

Aku melihat kakakku menangis. Ia memegangi perutnya. Aku ragu, melangkah mendekatinya. Ada apa? Kata-kataku itu hanya sampai di tenggorokan, tak sampai hati aku menanyakannya. Tangisnya semakin keras. Pagi berikutnya, pertanyaanku terjawab. Kakakku tidak bisa melahirkan normal.

-Flashback End-

Tak terasa air mataku menetes. Kenapa harus di tempat ini? Haissh, aku sudah berjanji aku tidak akan menangis di hadapannya. Setahun yang lalu, malam ke-14 Ramadhan, keponakanku lahir. Aku masih ingat saat-saat itu. Semua keluargaku menangis. Menangis karena dua hal. Tangis syukur dan tangis kehilangan. Kakakku pergi dengan egonya yang ingin melahirkan secara normal. Bahkan ia belum sempat mendengar tangis dari bayinya sendiri.

Malam sebelumnya ia menyatakan sebuah pernyataan yang mengejutkanku. “Aku ini kakakmu. Benar kan? Aku tau sifat-sifatmu dari A sampai Z. Kau itu pandai dan berani. Sadarkah adikku? Kakak tidak akan memberitahukanmu kenapa aku tidak memaksamu. Kamu akan tau jawabannya sendiri nanti. Jaga dirimu baik-baik, dan jadilah bulik dan ibu untuknya” Ia tersenyum sambil memegangi perutnya. Malam itu aku menyadari satu hal. Dia tidak pernah memaksa. Dia hanya menyampaikan. Caranya menyampaikan padaku berbeda dengan cara yang digunakannya menyampaikan pada orang lain. Dia bilang aku pandai dan berani. Aku berani? Ya, aku berani. Kau yang telah memberi teladan padaku bagaimana untuk berani. Berani mengubah cara pandangku sendiri. Tentang kau, pendirianmu, dan jilbab ini. Aku menggenggam jilbab yang kukenakan. Aku dan hidup keduaku

END

Cr: Google

Tulisan ini dibuat karena panggilan hati. #uhuk-uhuk. Udah lama banget nggak nulis yang beginian, terlalu sibuk dengan website lain jadi nggak ngurusi hal-hal sepele berdampak besar seperti ini. Ini bukan pengalaman pribadi, ini sekedar imajinasi yang meledak dan pengen segera dituangkan. Sekaligus salah satu opening story untuk membuka tamu agung tahun ini. Ramadhan, i miss you :*. Semoga saya bisa konsisten ngepos artikel dan tulisan-tulisan kayak gini ramadhan nanti aamiin. Saya juga mau minta maaf sama semua orang yang pernah dan merasa saya dzalimi. Afwan jiddan, buat readers juga. Maaf saya meracuni readers dengan berbagai artikel yang tiada guna dan manfaatnya. Ke depannya saya akan berusaha memberikan yang terbaik, tapi alon alon wae sik penting kelakon :3

0 komentar:

Posting Komentar

 

Copyright © Thipposite. Template created by Volverene from Templates Block
WP by Simply WP | Solitaire Online