Pages

Review The Hunger Games




Judul: The Hunger Games (The Hunger Games #1) 
Penulis : Suzanne Collins 
Penerbit Indonesia: Gramedia Pustaka Utama 
Penerjemah: Hetih Rusli

Dua puluh empat peserta. 
Hanya satu pemenang yang selamat. 


Amerika Utara musnah sudah. Kini di bekasnya berdiri negara Panem, dengan Capitol sebagai pusat kota yang dikelilingi dua belas distrik. Katniss, gadis 16 tahun, tinggal bersama adik perempuan dan ibunya di wilayah termiskin di Distrik 12. 

Karena pemberontakan di masa lalu terhadap Capitol, setiap tahun masing-masing distrik harus mengirim seorang anak perempuan dan anak lelaki untuk bertarung dan ditayangkan secara langsung di acara televisi The Hunger Games. Hanya ada satu pemenang setiap tahun. Tujuannya adalah: membunuh atau dibunuh. 


Ketika adik perempuannya terpilih mengikuti The Hunger Games, Katniss mengajukan diri untuk menggantikannya. Dan dimulailah pertarungan yang takkan pernah dilupakan Capitol 

Saya menonton filmnya terlebih dulu sebelum membaca novelnya, jadi saya rasa saya kurang netral dalam memberikan review atas buku ini. Selama membaca saya masih kebayang Katniss, Peeta, Gale dan seluruh jajaran penghuni Panem seperti sesuai di filmnya. Disini diceritakan bahwa jika kamu mau bertahan dalam permainan maka kamu harus menarik perhatian sponsor sebanyak-banyaknya-yah untuk bertahan hidup salah satunya. Di novel ini, Peeta dan Katniss dihadirkan sebagai pasangan-lover boy and lover girl- kepada publik. Mungkin beberapa orang menangkap bahwa Haymitch- mentor Hunger Games untuk distrik 12 sengaja membuat skenario itu untuk pasangan distrik 12. Tapi saya mencoba berpikir sebagai Suzanne Collins saat menulis cerita ini, Peeta lah yang secara tidak langsung menciptakan skenario itu. Peeta tidak sengaja ... ya rasa pesimisnya untuk bertahan hingga akhir yang mengantarkannya melakukan pengakuan kepada publik bahwa dia menyimpan rasa suka pada Katniss bahkan sejak usia lima tahun. Disisi lain, ada Gale yang setia berdiri di sana untuk menunggu Katniss. Kalau boleh menunjukkan keberpihakkan sih ya, saya lebih milih Peeta. Gale belum banyak digali di serial pertama ini, namun kehadiran Peeta yang dominan dan begitu protektif terhadap Katniss pasti menjadi pertimbangan yang besar untuk menentukan akhir kisah cinta mereka.

Selain itu, Haymitch tidak pernah memberikan penjelasan tentang skenario itu ke Peeta. Setiap Katniss bertanya pada Haymitch apakah ia sudah menjelaskan skenario itu pada Peeta, Haymitch hanya berkata Peeta pasti sudah tahu tanpa ia beritahu. Bukan Katniss yang membuat skenario lover boy and girl ini berhasil, melainkan Peeta sendiri. Karena Peeta benar-benar jatuh cinta pada Katniss dan ia tidak pernah berakting di depan publik. Semakin ketahuanlah itu di ending novel ini dimana Peeta merasa sakit hati ketika ia tahu bahwa selama masa persiapan hingga pertempuran Hunger Games Katniss hanya berpura-pura menyukainya. Dari awal saya udah nebak pasti berakhir seperti itu. 

Sebenernya kalau bisa lebih seru lagi, Suzanne bisa menceritakan detail pemberontakan akibat terbunuhnya satu persatu peserta tiap distrik. Tapi disini, Suzanne menggunakan point of view Katniss yang akhirnya sangat terbatas sekali imajinasi dari pembaca. Saya bertanya-tanya, ini gimana distrik 11 akibat kematian Rue? Apa iya distrik nggak ngamuk kalau ada pesertanya yang tewas kebunuh gitu? Yah semacam itu. 

Kurang kejam, yah itu sebagian komentar saya saat membaca serial pertama ini. Ada banyak kosakata kematian namun itu tidak membuat saya berpikir bahwa ini sudah cukup menciptakan adrenalin ketakutan saat membaca. Masih datar dan belum tereksplor secara total. Secara ide sangat bagus, yaitu menciptakan ketakutan luarbiasa dalam benak pembaca jika permainan seperti ini benar diadakan suatu hari nanti. Atau, membayangkan penduduk Capitol yang ... luar biasa. Saya tidak berharap dan tidak mau membayangkan akan tiba masa seperti itu. Suzanne belum mengeksplor lebih dalam tentang karakter lawan sehingga seolah-olah pembaca hanya tahu seputar Katniss saja, yah walau memang point of viewnya khusus pada Katniss hanya saja kurang greget. Atau jangan-jangan Suzanne sengaja menyimpan informasi itu untuk serial berikutnya? Hmm... nggak yakin tapi bisa jadi. Saya akui saya sangat amat terlambat baca novel ini, dan baru baca ketika filmnya udah jadi trending topic dimana-mana. Seandainya saya tahu lebih dulu, mungkin ... saya bisa beralih hati ke Gale hehe

Boleh jadi saya menempatkan Hunger Games sebagai serial kedua terbaik sepanjang masa yang pernah saya baca. Ide Suzanne yang outstanding benar-benar membuat saya nggak habis pikir ada cerita semacam ini. Filmnya juga sama bagusnya dengan novel. Dan visualisasi novel terbaik sepanjang sejarah saya mengikuti tren novel difilmkan. Keduanya saling melengkapi. Meski ada semacam perbedaan yang cukup keliatan yaitu Katniss di novel digambarkan begitu lemah namun di film digambarkan begitu kuat dan percaya diri. Peeta digambarkan begitu licik awalnya di novel namun di film justru sebaliknya. Effie juga jauh lebih banyak dimuat di film, serta sosok Avox yang tidak keliatan di film. Di film, Katniss hanya dapet beberapa hadiah sponsor tapi di novel diceritakan Katniss mendapat banyak sekali hadiah sponsor. Salah satu bagian paling seru adalah dimunculkannya mutt-mutt yang –nggak bisa mbayangin- ternyata adalah mutasi dari setiap korban tewas pertempuran. Oke bagian ini nggak ada di film dan saya speechless bacanya. Saya juga baru tau di novel kalau ternyata kakinya Peeta diamputasi, serta telinga Katniss yang sempat tidak berfungsi. Ibu Katniss dan Prim juga punya karakter beda di film dan novel. Sepertinya memang ada sebagian karakter – atau semua?- yang tidak sesuai, tapi ceritanya masih murni dan tetap tidak mengurangi visualisasi pertempuran yang cukup bagus. Peluncuran film kedua baru ada desember nanti. Nggak sabar :D


0 komentar:

Posting Komentar

 

Copyright © Thipposite. Template created by Volverene from Templates Block
WP by Simply WP | Solitaire Online